JAKARTA, bungopos.com - Laju ekonomi Indonesia sepanjang 2023 menunjukkan perkembangan positif. Perekonomian nasional tetap kokoh di tengah disrupsi lingkungan global, baik dari sisi rantai pasok, bencana alam, volatilitas sektor keuangan, serta fragmentasi geoekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, sebagaimana dilansir kemenkeu.go.id, menyebutkan bahwa perekonomian Indonesia 2023 tumbuh di kisaran 5%. Proyeksi tersebut juga sejalan dengan prediksi International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan konsensus Bloomberg.
Adalah gemuruh mesin manufaktur yang menderu sepanjang 2023, yang kemudian ikut mendukung pertumbuhan positif perekonomian tanah air. Aktivitas produksi yang cukup kuat itu tecermin dari capaian positif Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang ekspansif. Dirilis S&P Global, pada Desember 2023, PMI Indonesia menempati posisi 52,2 atau naik 0,5 poin dibanding November yang menempati level 51,7.
Selanjutnya, konsumsi listrik tumbuh tinggi 14 persen untuk bisnis dan 6,7 persen untuk industri. Dari sisi konsumsi, Indeks Keyakinan Konsumen masih terjaga cukup baik dengan mencapai 123,6. Sementara Indeks Penjualan Riil tumbuh positif mencapai 2,9 persen.
“Alhamdulillah, PMI Manufaktur Indonesia tetap berada dalam fase ekspansi selama 28 bulan berturut-turut. Capaian ini hanya Indonesia dan India yang mampu mempertahankan level di atas 50 poin selama lebih dari 25 bulan. Kinerja baik ini tentu harus kita jaga dan tingkatkan,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta.
Sektor manufaktur di Indonesia pun terus membaik sepanjang 2023, antara lain, didukung oleh beragam kebijakan strategis pemerintah yang telah berjalan secara on the right track. Capaian positif tersebut tentu menjadi fondasi kuat bagi laju pertumbuhan manufaktur di 2024.
Namun, capaian sektor manufaktur tersebut tetap dibayangi beberapa kendala. Di antaranya, kebijakan yang dianggap belum berjalan sesuai harapan sektor industri. Yakni, penerapan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dan pengendalian impor.
Merujuk catatan Kemenperin, masih banyak perusahaan industri yang belum menerima manfaat harga gas USD6 per MMBTU. Konkretnya, pada 2023 hanya 76,95 persen di Jawa bagian Barat atau hanya sekitar 939,4 BBTUD dibayar dengan harga USD6,5 per MMBTU, sisanya harus dibayar dengan harga normal sebesar USD9,12 per MMBTU.
Tak hanya itu, dalam pelaksanaannya masih banyak sektor industri yang memperoleh volume gas lebih rendah atau tidak sesuai dengan jumlah yang sudah menjadi kontrak antara industri dan pihak penyedia. “Kebijakan HGBT memang dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang kami inginkan, jauh dari ideal di mata kami. Oleh karenanya, carut-marut terkait HGBT ini tentu mengurangi daya saing industri kita,” papar Menperin Agus.
Manakala kedua hal tersebut (pelaksanaan HGBT berjalan baik, dan pengendalian impor berjalan baik), diyakini PMI akan membaik. Sebab, lanjut Agus, ada opportunity lost yang dihadapi sektor manufaktur akibat kedua hal tersebut. Selain itu, perlu pula dukungan kebijakan untuk menjaga ketersediaan bahan baku sehingga sektor industri manufaktur tetap berproduksi dengan baik dalam memenuhi pasar domestik dan ekspor. (***)