JAMBI, bungopos.com - Indonesia memiliki perguruan tinggi terbanyak ketiga di dunia dengan angka mencapai 4000-an, setelah Amerika Serikat (AS) dan India. Dari sekitar 4004 PT (data tahun 2022), 184 merupakan PTN (Perguruan Tinggi Negeri), selebihnya (3820) adalah PTS (Perguruan Tinggi Swasta). Sementara PT yang berbentuk universitas berjumlah 2595. Hal ini seperti yang ditulis oleh Pendiri Nusantara Institute dan Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals, Sumanto al Qurtuby dalam opininya yang berjudul Ironi Perguruan Tinggi di Indonesia yang diterbitkan oleh https://www.dw.com.
Karena perguruan tingginya banyak, sebutnya, otomatis pengajarnya juga banyak yakni sekitar 316,912 (tahun 2022). Demikian juga dengan perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan juga sangat besar. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, anggaran pendidikan mencapai 20 persen (sekitar 608,3 triliun) dari APBN. Bandingkan dengan Malaysia misalnya yang hanya mengalokasikan sekitar 5 persen untuk sektor pendidikan. Hanya saja ironisnya, lanjutnya, meskipun dari aspek kuantitatif, yakni jumlah PT, pengajar, dan anggaran yang demikian besar, tetapi dari aspek mutu dan kualitas tergolong minim.
Sumanto menyebutkan ada beberapa indikator untuk melihat rendahnya kualitas PT kita yakni, minimnya jumlah research output dalam bentuk karya ilmiah (buku akademik atau artikel jurnal) atau paten yang dihasilkan atau diproduksi. Kemudian sedikitnya PT yang berhasil masuk daftar "kelas dunia”. Dalam hal ini, lanjutnya, Indonesia kalah jauh dengan Malaysia yang hanya memiliki 100-an PT, apalagi dengan Singapura yang cuma memiliki 30-an PT dan Australia yang hanya mempunyai 43 PT.
Dari sisi jumlah mahasiswa asing di Indonesia, katanya, jumlahnya juga sedikit dibandingkan negara tetangga. Dimana di Indonesia hanya 6.000 orang, sementara Singapura memiliki 55.000, sedangkan Malaysia sekitar 170.000 mahasiswa asing. Bahkan dengan Vietnam pun kalah tercatat ada sekitar 45.000 orang. Sumanto mensinyalir, ada beberapa penyebab mengapa mutu PT di Indonesia ini kalah bersaing.
Pertama, dosen terlalu banyak dibebani tugas mengajar secara berlebihan, selain tugas bimbingan mahasiswa yang menumpuk dari S1-S3. Sehingga mengurangi jatah waktu penelitian dan penulisan karya akademik. Energi habis untuk mengajar banyak mata kuliah (pelajaran).
Kedua, gaji dan insentif yang kecil juga turut mengurangi produktivitas dalam berkarya. Lantaran gaji kecil, banyak dosen yang akhirnya menyambi pekerjaan lain agar "dapur tetap ngepul.”
Ketiga, minimnya "kultur akademik” di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah hal, Misalnya, kebiasaan belajar, kebiasaan membaca, etos intelektual, spirit penelitian, dan tradisi penulisan. Banyak PT didirikan hanya untuk mencari dan mengumpulkan uang (sebagai lumbung atau sumber finansial) atau sekadar "kebanggaan” kelompok. Selain itu, kampus sepi dari aktivitas akademik (selain rutinitas belajar-mengajar di kelas) seperti diskusi hasil riset atau proposal penelitian, seminar atau konferensi, kajian ilmiah, dan seterusnya. Kalaupun mereka menggelar acara-acara ini, motifnya sering kali juga bukan bersifat akademik tetapi, misalnya, untuk menghabiskan anggaran, sekedar ada kegiatan, atau kebanggaan menggelar acara.
Dengan melihat berbagai penyebab ini, Sumanto berpesan agar kampus-kampus di Indonesia perlu merevitalisasi tridharma pendidikan. (***)
(