Navarin Karim

Hamka, Nasionalisme dan Politik (Mengenang legend melalui film)

Posted on 2024-01-02 00:25:16 dibaca 1966 kali

 

 

TANGGAL 25 Desember 2024 bertepatan hari Natal di Bioskop diputar film Hamka dan Siti Raham. Ini lanjutan film Buya Hamka volume 1. Lanjutan film Hamka volume 2 ini memang dinanti masyarakat, tak terkecuali penulis. Hamka adalah Akronim, bukan nama  aslinya tetapi singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amarullah. Jadi teringat ketika kuliah, di lingkungan kos penulis ketika kuliah strata satu (S1) di Jawa, penulis mengaku-ngaku sebagai cucu Hamka, karena ada K dalam salah satu akronim tersebut. Karim adalah  last name penulis. Bahkan lucunya di Jawa saya dipanggil dengan mantion Karim, karena di Jawa yang jadi nama panggilan sehari adalah last name. Rekan-rekan satu kos begitu percaya, karena di lingkungan penulis rata-rata teman mahasiswa tidak fasih mengaji., sementara penulis Alhamdulillah fasih mengaji. Sampai rekan kost penulis, ada yang minta belajar mengaji dengan penulis. Maaf jadi terjebak kultus individual, astagfirullah itilah Rhoma Irama. Ini semua berkat budaya baik (good culture) di Sumatera mengaji sudah diajar sejak kecil, bahkan seingat penulis jika anak-anak mau sunat Rasul, harus khatam kajian terlebih dahulu.

Hamka dikenal sebagai ustadz yang lebih banyak memberi pedodaman tentang kehidupan berdasarkan adat dan ajaran Islam Alqurán. Hidup bersendikan syara, Syara’ bersendikan Kitabullah.’

Nasionalisme Hamka

Selain sebagai ustadz, beliau dikenal pula sebagai pejuang kemerdekaan, baik melalui tulisan maupun langsug turut berjuang secara di lapangan, bukan hanya di belakang meja. Tak lama usai kemwrdekaan itu, Indonesia kembali diserang Belanda yang ingin berkuasa dengan melakukan agresi militer.  Dit tengah gerilya tersebut , keluarga Buya Hamka terpaksa mengungsi di sungai Batang kareana Bealanda kian mendekati Padang Panjang pada tahun 1948.  Buya Hamka akhirnya kembali terlibat dalam perjuangan nasional. Ia bersama beberapa orang melakukan gerilya ke berbagai daerah di Sumatera Baratu ntuk menggelorakan perjuangan dan persatuan. Gerilya itu dilakukan lantaran rakyat sipil ternyata masih terpecah belah di tengah agresi. Hamka lantas berupaya menjadi penghubung agar mereka  dapat bersatu mempertahankan kemerdekan. Ketika berperan sebagai mediator ia sempat tertembak.   Semasa Buya Hamka Gerilya, isterinya mengasuh anak-anaknya dengan kondisi serba terbatas, selagi terus berdoa agar sang suami diberi keselamatan selama bergerilya menyeuarakan perjuangan. Namun kondisi sulit tersebut akhirnya berakhir usai Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem Royen pada    April 1949. Buya Hamka dan keluargannya kembali berkumpul  kemudian pindah ke Jakarta. Di Jakarta beliau bekerja di sebagai Pegawai Negeri Sipil  (PNS) di Departemen Agama.

Hamka dan Politik

Hamka aktif di Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Ketika PNS keluar peraturan PNS tidak boleh berpolitik, maka ia berhenti sebagai PNS, dan talent beliau sebagai penulis merambah ke media. Beliau pernah menulis opini tentang Demokrasi Indonesia di Era Demokrasi Terpimpin. Sikap oposisi beliau ini seolah sudah ditandai pihak penguasa.  Tahun 1964 beliau dijebloskan ke penjara Sukabumi dengan tuduhan melakukan pertemuan gelap di Tangerang yang dicurigai merencanakan pembunuhan Presiden Sukarno. Beliau sempat disiksa dan berkat lindungan Allah SWT, beliau selamat dari siksaan dan  dibebaskan karena tuduhan tidak terbukti alias fitnah. Beliau dipenjara lebih kurang dua tahun 1964 sd 1966. Dipenjara beliau menghabiskan waktu menulis beberapa bab tafsir alquran dan diselesaikannya setelah keluar penjara dengan judul Tafsir Al Azhar.

Kontroversi Persahabatan Dengan Bung Karno

Ketika bung Karno sebagai Presiden beliau pernah diundang ke Istana Negara karena kekaguman bung Karno terhadap karya-karya sastera yang spektakuler dari Hamka, seperti Dibawah Lindungan Kakbah, Tenggelamnya Kapal Van Derwijk. Namun di masa Soekarno memegang kekuasaan pula beliau dipenjarakan.  Itulah politik, tidak ada kawan yang abadi, yang abadi adalah kepentingannya/prosesnya. Hamka menganggap bung Karno sebagai teman yang sama-sama berjuang untuk kemerdekaan. Kontroversial lainnya ketika bung Karno meninggal pada tanggal 21 Juni 1971, utusan pemerintah masa Soeharto mengundang Hamka untuk pimpin sholat jenazah bung Karno. Mungkin ini wasiat dari bung Karno bahwa jika meninggal minta dibalut dengan panji-panji Muhammadiyah. Soeharto tetap menghargai Soekarno sebagai praklamator kemerdekaan. Filosofi Jawa : mikul duwur mendem jero yang dimaknai : junjung tinggi jasa seseorang dan pendem dalam-dalam kejelekannya. Sementara  Hamka seolah tidak ada rasa sakit hatinya terhadap bung Karno yang telah menjebloskannnya ke penjara. Ini hikmah pelajaran politik yang dapat kita petik, walau berseberangan secara politik, tapi tidak dinampakkan secara kasat  mata. Jika berbeda pandangan politik tetap cipika cipiki, minimal bersalaman, jangan menghindar, apalagi tidak hadir jika diundang.

Kontroversi Ustadz sebagai Politikus

Hamka pernah meninggalkan pesan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika pidato sebagai ketua : ustadz bukan untuk dipilih, karena ustadz adalah pilihan Allah. Mungkin jauh-jauh hari beliau seolah mengingatkan untuk jabatan-jabatan politik yang dipilih masyarakat agar dihindari oleh para ustadz. Sekarang terbukti banyak ustadz yang sudah popular menjadi calon legislative dan maju dalam pemilukada., bahkan ada pula ustadz yang sudah terlanjur jadi legislator dan Bupati.

-------

Penulis adalah dosen senior  Ilmu Politik dan Pemerintahan  Universitas Jambi.

 

Penulis: Navarin Karim
Editor: Arya Abisatya
Copyright 2023 Bungopos.com

Alamat: Graha Pena Jambi Ekspres,
Jl. Kapt. Pattimura No. 35 KM. 08
Kenali Besar, Kec. Alam Barajo, Kota Jambi

Telpon: -

E-Mail: bungoposonline@gmail.com